Sebelum lu baca postingan ini, ada baiknya luaca cerita sebelumnya >> Neraka Transportasi - Insiden Pencabulan (Part 1)
Kenapa? Karena kalo gak baca yang sebelumnya, lu bakal kebingungan, terus galau, terus bunuh diri. Percaya sama gue.
.......
Dua jam para penumpang dengan sabar menunggu, seorang bapak yang duduk di baris tengah mobil gue tadi mulai emosi, ngebanting pintu dan teriak-teriak pake bahasa Kalimantan, yang kalau diartikan seperti ini: “PAK, INI KAPAN KITA BERANGKATNYA? UDAH NUNGGU LAMA INI!”
“Iya, tunggu, Pak. Ini kita sedang nunggu datang bensin dulu,” sergah Si Supir yang dari percakapannya dengan Si Bapak gue tau kalo dia orang Bugis.
“JANGAN MAIN-MAIN SAMA SAYA! SAYA BANYAK URUSAN DI BERAU INI! HARUS CEPAT SAMPAI!” Si Bapak makin emosi. Kemudian, bos travel dan supir lainnya ikutan nimbrung marah-marah, suasana pun jadi mencekam. Gue sih mulai seneng, akhirnya dapat tontonan seru.
Nada suara mereka yang tinggi dan cara bicara mereka yang cepat, membuat perdebatan antara orang Kalimantan dan orang Bugis ini terdengar seperti rap battle di telinga gue. Saking cepetnya mereka ngomong. Bahkan, gue mikir, mungkin musik rap itu bukan berasal dari Amerika, tapi berasal dari Kalimantan Timur. Dan apa mungkin Snoop Dog itu keturunan orang Bugis?
Karena suasana semakin semarak, penumpang yang lain juga mulai ikutan emosi. Akhirnya si bos travel yang udah kepepet, nyuruh supir-supirnya buat langsung pergi nganterin kita, dan manggil lagi mobil Xenia yang udah dia suruh pulang tadi. Mungkin dia takut para penumpangnya kabur cari travel lain. Jalan lah mobil travel keparat ini dengan 10 penumpang dan barang-barangnya yang bejibun, malah sekarang ditambah lagi dengan satu jerigen besar bensin di bawah kaki gue. Kerennya, gue dan si bapak berbadan gempal di sebelah gue, malah anteng ngerokok seakan-akan kalo percikan api bertemu dengan bensin tidak akan mengakibatkan apa-apa.
Perjalanan Kalimantan Timur dengan medan yang berat membuat siksaan terhadap pantat gue semakin menjadi-jadi. Jalanan yang 80%-nya terdiri dari batu dan tanah bikin pantat gue yang setengahnya duduk di rem tangan merasakan sedikit efek disodomi. Dikit.
Kemalangan gak sampai di situ, setelah keluar dari kota Samarinda dan memasuki beberapa kabupaten, ban mobil yang kami tumpangi pecah! Satu lagi masalah datang. Mampus.
“Yah, coba semuanya turun… mau ganti ban dulu ini,” kata si supir. Sambil istirahat dan ngelurusin badan yang sedari tadi nekuk mulu, gue dan penumpang lainnya turun dari dan neduh ke mesijd dari panasnya cuaca Kalimantan.
Gue baru tau alasan kenapa travel menuju Berau ini tidak boleh berjalan sendiri, akan selalu ada dua atau tiga mobil yang barengan jalannya. Ini semua untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di perjalanan. Ketika satu mobil bannya pecah, mobil lainnya akan membantu untuk menggantikan ban. Atau, ketika ada satu mobil yang selip dan amblas karena jalanan yang rusak, maka mobil lainnya akan membantu menarik mobil yang amblas. Pintar. Jadi kebayang betapa sulitnya transportasi di Kalimantan ini.
Matahari mulai terbenam, gue liat penumpang lain udah mulai tertidur pulas walaupun posisi badan mereka saling berhimpitan. Mungkin saking capeknya. Sepanjang perjalanan, gue cuma liat pemandangan yang gelap di kiri dan kanan, serta jalanan setapak yang cuma tanah dan bebatuan doang, tanpa penerangan sama sekali. Kita murni hanya mengandalkan cahaya dari lampu mobil.
Inilah yang bikin gue lebih suka sama bulan dibandingkan matahari. Bulan jelas, dia menerangi malam. Nah, matahari? Udah tau siang. Masih aja nongol.
“Bang, di mana nih kita?” tanya gue ke si supir memecah keheningan di mobil.
“Kita ada di tengah hutan Borneo,” jawab Si Supir singkat.
“HAH? Serius, Bang? Hutan Borneo?” tanya gue lagi.
“Iya, kau lihatlah kiri kanan itu, pohon semua,” katanya.
Gue celingak-celinguk kiri kanan sambil memicingkan mata supaya jelas. Ternyata benar, sekarang di kiri-kanan gue terhampar pohon-pohon besar hutan Borneo! Gue senang parah! Setelah sekian lama gue cuma liat hijaunya hutan Borneo di televisi, akhirnya gue bisa lihat langsung hutan yang katanya jadi paru-paru dunia ini.
Perjalanan dengan medan yang berat, serta kaki yang pegal karena terus ditekuk, dan pantat yang mulai mati rasa, jadi bukan masalah setelah gue melihat ke luar jendela mobil. Ratusan, bahkan ribuan bintang bertebaran bebas menghias langit malam Borneo. Seakan berkompilasi dengan sinar bulan, bintang-bintang mengalir indah membentuk layaknya sebuah sungai di angkasa. Cantik.
Grusuuuuk… gue terbangun dari tidur gara-gara ada goncangan hebat. Ternyata, mobil yang gue tumpangi amblas ke pinggir jalan gara-gara supirnya mulai mengantuk. Mampus. Lagi-lagi perjalanan kita harus berhenti, kali ini ban mobil sobek parah akibat amblas. Untunglah kita tidak lagi berada di tengah hutan yang sepi, beberapa rumah terbuat dari triplek dan kayu nampak berderet di kanan jalan. Kita sudah berada di ujung hutan Borneo. Tepatnya, di Desa Wahau.
Padang pasir, tanah tandus dan teriknya sinar matahari membuat kulit gue perih kebakar. Kalimantan yang memiliki hutan yang luas seharusnya bercuaca teduh dan menyegarkan, namun apa yang gue lihat beberapa meter dari Desa Wahau ini adalah pemandangan yang berlawanan. Yah, gue melihat berhektar-hektar hutan Kalimantan ini sudah gundul, habis ditebang tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Gak jauh dari tempat gue berdiri, ada sebuah sungai kecil yang airnya berwarna hitam pekat karena polusi yang diakibatkan oleh pembuangan racun perusahaan-perusahaan tambang di Kalimantan. Miris.
Dua jam kita menunggu, ban mobilnya sudah diganti yang baru. Bukan baru juga sih, ban bekas tapi dipasang lagi. Itu maksud gue.
Karena kita takut Si Supir ketiduran lagi pas bawa mobil, maka, kami para penumpang sepakat untuk mengistirahatkan Si Supir. Si bapak yang kemarin marah-marah nanya ke kita semua, “Siapa di sini yang bisa bawa mobil?”
Gak ada satu pun yang ngacung.
“Lah, bapak emang gak bisa nyetir, Pak?” tanya gue balik.
“Nggak, Dek, saya gak bisa nyetir,” jawab Si Bapak. Mampus. Berarti di satu mobil ini, cuma gue yang bisa nyetir. Berarti gue bakalan nyetir di Kalimantan? Yang dengan liat jalanannya aja udah bikin gue pengin muntah pelangi! Tapi, daripada kita masuk jurang gara-gara supir ngantuk dan gak nyampe-nyampe ke tujuan, maka gue beranikan diri buat nyetirin mobil. Para penumpang lain cuma bisa usap-usap dada. Dada Duo Serigala.
Nyetirin mobil di jalur ribet kayak gini perlu keterampilan lebih. Jalanan naik turun dan berbatu serta debu-debu yang berterbangan bikin gue makin susah buat ngendaliin nih mobil. Rasanya, ongkos yang gue pikir tadinya mahal, gak sebanding dengan trek yang mobil ini harus lalui. Gue nyetir lumayan lama, sampai akhirnya, Si Supir kembali bangun dari tidurnya setelah mobil dia nyeruduk batu gede. Gue kaget, penumpang lain kaget sambil liatin gue sinis, si supir langsung buru-buru gantiin nyetir lagi. Pengalaman nyetir brutal yang gak akan pernah gue lupain!
Total perjalanan 30 jam, akhirnya gue nyampe dengan selamat di Labanan, salah satu desa sebelum kota Berau. Gue sengaja gak turun di Berau karena ibu-ibu dan dua orang anaknya yang duduk di baris paling belakang, ngajak gue buat berkunjung dulu ke rumahnya. Istirahat dulu setelah perjalanan panjang.
Namanya Bu Beti, seorang guru SD di desa Labanan yang menyambut hangat kedatangan gue. Gue dipersilakan masuk ke rumahnya yang kecil, khas rumah di perkampungan. Rumahnya terlihat asri karena halaman depannya rindang oleh banyak tanaman.
Bu Beti nyuruh gue buat mandi dulu karena muka dan badan gue yang kelihatan kucel dan kecapekan. Gue bergegas ke kamar mandi dan langsung buru-buru buka baju dan celana gue. Tapi tunggu… gue merasakan pantat gue basah! Nggak, gak mungkin gue kecepirit di mobil tadi. Perut gue gak mules kok tadi. Perlahan, gue pelorotin celana gue, diikuti dengan pelorotin kolor yang baunya udah bisa bikin satu Desa Labanan ini pingsan semua.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKHHHHHHHHH!!!” gue teriak di dalem kamar mandi, kaget!
“Ada apa, Dis?” tanya Bu Beti yang kayaknya juga kaget denger gue teriak.
“Nggak, Bu… gak ada apa-apa. Ini ada Komodo lewat,” Jawab gue sekenanya, gara-gara masih syok.
Pantes selama perjalanan pantat gue sakit ampe mati rasa. Ini gak mungkin mimisan, mengingat posisinya bukan di hidung. Ternyata, rem tangan mobil biadab itu telah menodai keperawanan gue! Pantat gue mengalami pendarahan! Gue janji gak akan berani-berani lagi nyoba naik mobil dari Samarinda ke Berau. Gue kapok!
Emang bener kata orang, zaman sekarang itu susah banget jaga keperawanan. Hih!