Senja merangkak menuju malam, hujan yang datang seakan mentertawakan kami yang meringkuk kedinginan di dalam tenda. Di pantai yang entah apa namanya, berempat kami: aku sendiri, Imam, Trysu dan Chori duduk berselimut sleeping bag ngobrol gak jelas menunggu hujan reda. Tak ada yang menyangka bahwa hari ini akan hujan lebat setelah seminggu ini kulihat langit selalu cerah. Parahnya hujan datang mendahului kami sebelum selesai memasang tenda. Hasilnya ya beginilah, basah kuyup mengigil. Tahu kan jika sekumpulan pria terjebak dalam tenda, mereka berubah menjadi mahluk-mahluk bodoh dengan semua kelakuannya.
Sambil menunggu hujan reda aku menyiapkan makan malam. Untung untuk masalah logistik kita sangat aman, bahkan sambal bawang extra pedas untuk mahluk-mahluk gila sambel-pun sudah tersedia satu botol. Oh iya, dalam perjalanan kami sempat mendapatkan 2 buah semangka dan beberapa jagung muda dari penduduk di sekitar pantai Teres. Rupanya kami datang pas lagi musim panen jagung dan semangka.
Satu Lagi Pantai Perawan
Pantai ini salah satu pantai yang tepat untuk melarikan diri dari keriuhan kota dan kepenatan kerja. Nyaris tidak ada penduduk yang melewati tempat ini, masih sangat sepi. Mungkin juga karena jalur ini baru saja dibuka. Memang masih ada sinyal selular, tetapi tidak pernah lebih tinggi dari EDGE. Yah masih mendingan daripada pantai Puru yang sinyalnya hanya muncul jika kalian mau naik di salah satu bukit batu.
Pantai Tebi namanya, itu yang tertulis di mbah 'Google Maps' tentang pantai ini. Entah siapa yang memberi nama pantai itu. Tidak ada rumah penduduk di sekitar pantai ini yang dapat aku tanyai. Bahkan jalan menuju pantai ini bisa dibilang jalan yang baru dibuka. Lalu bagaimana aku tahu pantai ini? Sebenarnya tidak ada satupun dari kami yang tahu pantai ini. Itulah enaknya jalan dengan mahluk-mahluk seperti mereka, gak masalah untuk dijalan yang bahkan kita gak tahu bakal dimana.
Semua ini, bermula dari ajakan untuk mencoba ke bukit Fatubraun. Karena lokasi Fatubraun dekat dengan daerah pesisir selatan Kabuparen Kupang, kami memutuskan akan kembali menginap ke Pantai Teres. Pantai Teres ini pernah aku datangi dulu bareng Imam dan Adis 'Pipi' namun tidak sampai bermalam disini, baca ceritanya di Sisi Selatan Kupang: Pantai Buraen. Tuh kan, waktu nulis pantai ini aja salah, seharusnya ke Pantai Teres tapi malah aku kira namanya Pantai Buraen.
Ada ide untuk menginap di Pantai Teres, sayangnya salah satu sudut pantai Teres yang layak untuk mendirikan tenda sudah banyak sampah berserakan. Artinya daerah ini sudah sering didatangi wisatawan. Jadi Pantai Teres kita coret, aku hanya membawa oleh-oleh sepotong kayu kering yang berbentuk papan dari pantai ini. Lumayan untuk jadi talenan.
Karena itu, akhirnya kami sekalian memutuskan mengikuti jalan baru yang sepertinya baru saja dikerjakan. Jalan baru menanjak ternyata membelah bukit. Tanpa membelah bukit sepertinya akan sangat curam sehingga mustahil bisa dilewati kendaraan. Dari puncak, pemandangan laut selatan tampak berwarna biru tosca.
Berkutat dengan Api Unggun
Selesai hujan, persoalan selanjutnya adalah bagaimana cara menghidupkan api unggun. Masalahnya semua kayu yang kami bisa kumpulkan dalam kondisi basah. Padahal stok kayu kering di sekitar pantai cukup banyak. Akhirnya kami sibuk mencari plastik-plastik bekas atau sandal bekas untuk membantu menghidupkan api. Lumayan susah sih, hampir sekitar satu jam kami berkutat sampai api unggun benar-benar bisa menyala.
Terus terang kalau di pantai seperti ini, kami rata-rata menghindari tidur di tenda, lebih enak tidur menggunakan sleeping bag di dekat api unggun. Masalahnya di tenda kalau tidak hujan seringkali terasa gerah.
Cuma kali ini meskipun tetap memilih tidur di depan api unggun masih ada perasaan kuatir juga. Apalagi sekitar jam 2 pagi saat aku sedang mencoba memotret. Dari kejauhan ke arah laut tampak gumpalan awan dengan badai petir. Meskipun petir beberapa menyalakan langit tapi tak terdengar suara gemuruh guntur yang menyertainya. Artinya jarak petir masih cukup jauh. Tapi memang rejeki, sampai pagi tidak ada hujan yang turun lagi.
Temen jalan kali ini: Imam 'Boncel; Trysu Sianipar, Al Buchori 'Chori'
Sambil menunggu hujan reda aku menyiapkan makan malam. Untung untuk masalah logistik kita sangat aman, bahkan sambal bawang extra pedas untuk mahluk-mahluk gila sambel-pun sudah tersedia satu botol. Oh iya, dalam perjalanan kami sempat mendapatkan 2 buah semangka dan beberapa jagung muda dari penduduk di sekitar pantai Teres. Rupanya kami datang pas lagi musim panen jagung dan semangka.
Satu Lagi Pantai Perawan
Pantai ini salah satu pantai yang tepat untuk melarikan diri dari keriuhan kota dan kepenatan kerja. Nyaris tidak ada penduduk yang melewati tempat ini, masih sangat sepi. Mungkin juga karena jalur ini baru saja dibuka. Memang masih ada sinyal selular, tetapi tidak pernah lebih tinggi dari EDGE. Yah masih mendingan daripada pantai Puru yang sinyalnya hanya muncul jika kalian mau naik di salah satu bukit batu.
Pantai Tebi namanya, itu yang tertulis di mbah 'Google Maps' tentang pantai ini. Entah siapa yang memberi nama pantai itu. Tidak ada rumah penduduk di sekitar pantai ini yang dapat aku tanyai. Bahkan jalan menuju pantai ini bisa dibilang jalan yang baru dibuka. Lalu bagaimana aku tahu pantai ini? Sebenarnya tidak ada satupun dari kami yang tahu pantai ini. Itulah enaknya jalan dengan mahluk-mahluk seperti mereka, gak masalah untuk dijalan yang bahkan kita gak tahu bakal dimana.
Semua ini, bermula dari ajakan untuk mencoba ke bukit Fatubraun. Karena lokasi Fatubraun dekat dengan daerah pesisir selatan Kabuparen Kupang, kami memutuskan akan kembali menginap ke Pantai Teres. Pantai Teres ini pernah aku datangi dulu bareng Imam dan Adis 'Pipi' namun tidak sampai bermalam disini, baca ceritanya di Sisi Selatan Kupang: Pantai Buraen. Tuh kan, waktu nulis pantai ini aja salah, seharusnya ke Pantai Teres tapi malah aku kira namanya Pantai Buraen.
Ada ide untuk menginap di Pantai Teres, sayangnya salah satu sudut pantai Teres yang layak untuk mendirikan tenda sudah banyak sampah berserakan. Artinya daerah ini sudah sering didatangi wisatawan. Jadi Pantai Teres kita coret, aku hanya membawa oleh-oleh sepotong kayu kering yang berbentuk papan dari pantai ini. Lumayan untuk jadi talenan.
Karena itu, akhirnya kami sekalian memutuskan mengikuti jalan baru yang sepertinya baru saja dikerjakan. Jalan baru menanjak ternyata membelah bukit. Tanpa membelah bukit sepertinya akan sangat curam sehingga mustahil bisa dilewati kendaraan. Dari puncak, pemandangan laut selatan tampak berwarna biru tosca.
Berkutat dengan Api Unggun
Selesai hujan, persoalan selanjutnya adalah bagaimana cara menghidupkan api unggun. Masalahnya semua kayu yang kami bisa kumpulkan dalam kondisi basah. Padahal stok kayu kering di sekitar pantai cukup banyak. Akhirnya kami sibuk mencari plastik-plastik bekas atau sandal bekas untuk membantu menghidupkan api. Lumayan susah sih, hampir sekitar satu jam kami berkutat sampai api unggun benar-benar bisa menyala.
Terus terang kalau di pantai seperti ini, kami rata-rata menghindari tidur di tenda, lebih enak tidur menggunakan sleeping bag di dekat api unggun. Masalahnya di tenda kalau tidak hujan seringkali terasa gerah.
Cuma kali ini meskipun tetap memilih tidur di depan api unggun masih ada perasaan kuatir juga. Apalagi sekitar jam 2 pagi saat aku sedang mencoba memotret. Dari kejauhan ke arah laut tampak gumpalan awan dengan badai petir. Meskipun petir beberapa menyalakan langit tapi tak terdengar suara gemuruh guntur yang menyertainya. Artinya jarak petir masih cukup jauh. Tapi memang rejeki, sampai pagi tidak ada hujan yang turun lagi.
Temen jalan kali ini: Imam 'Boncel; Trysu Sianipar, Al Buchori 'Chori'