Dinding batu dengan lima pahatan candi |
Sungai Pakerisan Gunung Kawi |
Jalan semakin menurun, anak tangga diapit dinding tebing di kanan kirinya. Seperti lorong yang berakhir di pintu gerbang masuk. Setelah aku melewati pintu gerbang tampak sebuah jembatan membelah Sungai Pakerisan. Jembatan ini menghubungkan kita dengan Gugusan Lima Candi yang berada di tebing sebelah timur Sungai Pakerisan.
Kawasan persawahan yang menghijau di Gunung Kawi |
Sungai Pakerisan dipenuhi bebatuan dan dialiri air yang jernih. Pohon-pohon besar tumbuh disisi sungai dengan dahan dan daun yang menjuntai. Seperti sebuah gerbang gaib penanda wingitnya tempat keramat itu. Tubuhku yang sensitif menangkap sinyal hawa dari dunia lain. Aku pun bergegas menjauh.
Aku berjalan menuju sisi barat Sungai Pakerisan tempat gugusan 4 (empat) candi berada. Ada sebuah Ceruk/goa diujung kiri sepertinya digunakan untuk Meditasi/samadhi. Disini juga dibangun Pura Kawan yang digunakan untuk berdoa.
Pura Gunung Kawi atau Candi Gunung Kawi/Tebing Kawi berupa bangunan suci Pedharman (Kuil) Raja-raja Bali. Kawi berarti pahatan pada batu padas/paras. Berfungsi sebagai tempat pertapaan dan petirtaan. Berada di tepi Sungai Tukad Pakerisan, Banjar Penaka/Dusun Penaka, Desa Tampak Siring, Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar, Bali. Jarak tempuh dari Denpasar sekitar 1 (satu) jam atau 40 (empatpuluh) kilometer.
Legenda masyarakat sekitar menceritakan bahwa Candi Gunung Kawi dibuat oleh orang sakti yang bernama Kebo Iwa. Dengan kesaktiannya konon Kebo Iwa menatahkan kuku-kukunya yang tajam pada dinding batu paras/cadas pada Tukad Pakerisan itu. Hanya sehari semalam Kebo Iwa berhasil menyelesaikan memahat semua candi di dinding tebing.
Dalam Prasasti Tengkulak 945 Saka/1023 Masehi terdapat keterangan di tepi Sungai Pakerisan terdapat komplek pertapaan (Kantyangan) yang bernama Amarawati. Terdapat tiga komplek candi. Gugusan 5 (lima) candi yang berada di tebing sebelah timur Sungai Pakerisan, Gugusan 4 (empat) candi yang berada di tebing sebelah barat Sungai Pakerisan, dan candi ke-10 yang berada sebelah selatan, di Tebing Bukit Gundul.
Berpose di gugusan 4 candi |
Raja Udayana dari pernikahannya dengan Permaisuri Gunapriya Dharma Patni, Putri dari Mpu Sendok Raja Kediri di Pulau Jawa memiliki tiga putra. Putra pertama Airlangga, putra kedua Dharmawangsa Marakata dan putra ketiga Anak Wungsu. Airlangga menjadi Raja di Kediri menggantikan kakeknya, Mpu Sendok.
Berdasar data arkeologi berupa tulisan aksara bertipe Kadiri Kwadrat pada ambang pintu candi berbunyi "haji lumah ing jalu" berarti beliau yang didharmakan di Jalu (Jalu=Pakerisan). Dan "rwa anak ira" yang diartikan dua putra beliau (dua anak Udayana yang berkuasa di Bali yaitu Marakata dan Anak Wungsu).
Gugusan 5 (lima) candi diperuntukan Raja, Permaisuri dan anak-anaknya. Gugusan 4 (empat) candi menurut Arkeolog Belanda, Dr. R. Goris kemungkinan adalah kuil pedharman untuk ke empat selir dari Raja Udayana. Satu candi lainnya yang posisinya lebih ke selatan dibangun untuk seorang pejabat tinggi kerajaan setingkat perdana menteri atau penasihat raja.
Dari berbagai referensi sejarah pada jaman itu dikaitkan dengan sosok Empu Kuturan. Empu Kuturan adalah utusan Raja Airlangga untuk adiknya Raja Anak Wungsu. Akhirnya Empu Kuturan diangkat menjadi penasihat utama raja dan memiliki peranan penting dalam Kerajaan Bedahulu.