Air terjun Koalat, meski musim kemarau namun debitnya masih kencang (tingkat terbawah) |
Jernihnya air di air terjun Koalat, Maidang |
Aku memilih mengunjungi lokasi ini di akhir waktu setelah dua temen cewek yang penugasan satu kota di Sumba Timur balik ke Kupang. Bukan gak berani ngajak, tapi dengan kondisi medan yang aku sendiri masih 'blank' aku gak berani mengambil risiko ajak-ajak anak orang (kalau anak monyet gak pa-pa lah). Aku memilih mengajak mereka ke Pantai Watuparunu, walaupun lebih jauh tapi kondisi jalannya jelas bagus. Tanpa guide yang menemani, hanya berbekal informasi tulisan di blog dari temannya Trysu dan orang pemda yang pernah kesana bukan halangan kami untuk 'kesasar'. Dan di antara lokasi yang kami jalani, mungkin perjalanan 'kesasar' ini yang kata Trysu paling berkesan. Iya, kondisi jalannya tak terlalu parah hanya untuk motor yang kami cukup bikin ngeri karena di beberapa tikungan menurun terakhir jalannya diapit jurang di kanan kiri (untung gak diapit jurang atas bawah).
Selepas jembatan yang melintasi sungai besar kota Waingapu akan ada pertigaan, dan dari situ kita masuk ke kanan tapi sebaiknya tanya penduduk sekitar (inget GPS-Gunakan Penduduk Setempat yo). Awalnya jalan setelah belokan masih terasa mulus, yah hanya sedikit goyangan khas jalan ala kabupaten lah. Pemandangan di samping kiri sepanjang jalan yang tampak adalah persawahan yang sebagian baru mulai tanam dan saluran irigasi yang airnya meluap sampai ke pinggir. Kadang-kadang ada juga pemandangan cewe-cewe mandi gak pakai baju (kamu percaya??? aku sendiri juga gak percaya kok). Kalau melihat cewe.. eh saluran ini, kita akan merasa bahwa Waingapu itu subur dan tak kekurangan air. Tapi semua pemandangan hijau (sawah ya bukan cewe.. ngeres ah lu pikirannya) akan berakhir selepas jalan menanjak menuju perbukitan. Dan saat naik ke perbukitan itulah akan terasakan tandusnya perbukitan Sumba Timur saat musim kemarau seperti ini. Dan kondisi perbukitan seperti itu yang akan terus kami tempuh sampai ke Maidang. Coba ada kuda sama kopi coboy, pasti Trysu udah macam jagoan koboi Billy The Kid naik kerbau.
Melintasi Perbukitan Kambata Mapambuhangu
Kata brosur yang dikasih orang Dinas Pariwisata, jarak tempuh dari kota Waingapu ke Maidang ini sekitar 70 km. Tapi ini NTT, jangan percaya jarak tapi waktu tempuhnya dan Alhamdulillah aku sudah membuktikannya (lima km satu setengah jam, asoy gak tuh). Aku tidak sempat mengukur (iya lah, masak aku harus bawa meteran buat ngukur jalan.. kurang kerjaan banget) karena lebih terpesona dengan medannya. Menurutku jika ingin sekali waktu kalian ke sini dan mau mendapatkan gambaran pulau Sumba Timur yang penuh dengan perbukitan terjal dan kering, di sinilah salah satu lokasi yang bisa kalian datangi. Di kanan kiri dari perjalanan yang kami banyak kami temui adalah perbukitan savana dengan rumput-rumput yang telah mengering. Memang masih ada pepohonan yang menghijau, dan di lokasi-lokasi seperti itulah aku sempat menyaksikan burung-burung. Sekali waktu saat sempat aku dan Trysu melihat burung kecil terbang, burung itu memiliki bulu kuning putih di dada dan pada ekor yang dominan berwarna putih berwarna biru di tengahnya yang lebih panjang dari bulu ekor lainnya. Aku bersyukur bisa melihat burung seperti ini di tengah perbukitan Sumba, berharap tidak ada tangan iseng/jahil yang menangkap mereka untuk diperjualbelikan. Di sepanjang perjalanan menyusuri bukit ini jarang sekali rumah dan jika ada rumah hanya ada beberapa saja. Jarak antara satu rumah dengan rumah lain berjauhan, wih... bener, ternyata Sumba Timur yang luas ini penduduknya terkonsentrasi di Waingapu saja.
Perbukitan yang kering menuju Maidang |
Bahkan setelah sampai di kota kecamatan Kambata Mapambuhangu (ini kecamatan namanya panjang dan susah diinget, kalau gak percaya inget dan besok dua hari ucapin lagi pasti gak bisa hehehe) yang berada di atas perbukitan ternyata jauh dari yang kami bayangkan. Jangankan pertokoan bahkan rumah pun dapat dihitung dengan jari (jari tangan dan kaki serta jari temen-temenmu). Jadi bangunan-bangunan yang berdiri di kecamatan itu lebih banyak bangunan pemerintahan seperti sekolah, kantor kecamatan dan kantor sejenis (iya lah, kalau beda jenis nanti beranak). Jadi kami harus benar-benar mengandalkan ransum yang kami bawa dari Waingapu. Saran: jika ke tempat-tempat wisata di Waingapu jangan lupa bawa perbekalan makanan dan minuman yang cukup karena belum tentu akan menemukan sekedar toko kecil untuk membeli minuman.
Rumah di atas perbukitan menuju Maidang |
Aku sempat bercanda dengan Trysu, "Ini adalah jalan yang tak boleh ada kesalahan". Dari atas aku bisa melihat jalan meliuk-liuk melintasi puncak beberapa perbukitan savana. Duh kuda mana nih, serasa jadi koboi. Jika sebelumnya kami melewati punggung bukit yang cuma ada jurang di satu sisi, sekarang jalan di depan di apit jurang di dua sisi. Makkk, pemandangannya ngeri-ngeri sedap kali (kata Soetan Batoegana begitu).
Pemandangannya sungguh luar biasa, sayangnya aku tidak sempat merekam dengan kamera (mengejar waktu biar tidak sampai terlalu sore sampai di lokasi). Apalagi warna langitnya yang mulai menguning oranye. Trysu yang mengendarai motor di depan mungkin tak bisa melihat semua pemandangan ini karena terkonsentrasi pandangannya ke jalan yang sudah rusak, batu-batuan kecil yang merupakan sisa jalan beraspal mudah sekali terlepas. Tak urung beberapa kali roda tergelincir namun tak sampai terjatuh. Trysu cukup hati-hati, sangat hati-hati malah. Berbeda sekali saat kami menembus perbukitan lewat punggung bukit. Jurang di salah sisi tidak membuat dia mengurangi kecepatan motor. Namun di jalur terakhir ini dia betul-betul ekstra hati-hati sehingga justru lima km inilah yang menjadi perjalanan terlama.
Air Terjun Maidang
Setelah melewati jalur 'tak ada kesalahan' terakhir, akhirnya aku bisa melihat beberapa rumah dan sebuah jembaran kecil dari atas bukit terakhir. Aku tahu itulah Maidang, karena memang itulah satu-satunya kampung yang ada di semua perbukitan itu. Jadi jalan masuk dan keluar Maidang ya hanya yang kita lewati saat ini. Di sisi jembatan itulah, aku bertemu pak Luna Maya.... eh salah Aril (aku ingetin lagi ya, bukan Ariel Peterpan) yang langsung meminta aku mengikutinya.
View dari atas air terjun Koalat, Maidang |
Yang unik dari air terjun ini tampaknya terbentuk dari satu batu besar yang utuh, bahkan batu yang ada di air terjun ini benar-benar batu utuh menyatu dengan bagian atas. Alur-alur unik benar-benar sepertinya terbentuk dari air. Bahkan di bagian atas dimana ada genangan air tampak sebuah batu yang membulat membelah aliran air menjadi dua. Batu-batu itu pun masih menjadi satu bagian hanya menjadi berlubang-lubang. Aku tak tahu bagaimana air bisa membentuk bebatuan itu menjadi lubang-lubang unik seperti ini.
Batu-batu terbentuk oleh aliran air |
Sayang aku tidak bisa terlalu lama karena sampai di sini pun bisa di bilang sudah terlalu sore, mungkin karena kita sering bertanya sepanjang perjalanan jadi perjalanan yang seharusnya bisa dua jam bisa sampai tiga jam.
Perjalanan kembali inilah yang paling berbahaya. Kejadian sempat tergelincir yang membuat kami nyaris jatuh membuat Trysu tidak berani menjalankan motor lebih cepat. Bahkan setiap ruas yang batunya mudah lepas, aku harus sering turun supaya Trysu bisa leluasa membawa motornya. Bahkan di jalan yang menanjak aku harus ikhlas jalan kaki. Aku minta Trysu jalan lebih dulu sampai di tempat yang landai dan aman, jadi tidak perlu menunggu aku. Ternyata jalan begini cukup bikin ngos-ngosan tapi juga sangat menyenangkan. Bayangkan berjalan di malam hari menyusuri puncak bukit dengan kanan-kiri jurang dan ditemani galaksi Bima Sakti yang tampak jelas. Fuih.. fuih.. lain kali mungkin aku harus jalan kaki ke sini. Rasanya pasang tenda di atas bukit sini juga asyik aja tuh.
Trysu lah yang justru setengah mati, makanya dia cuma berharap kapan bisa menemukan jalan rabat. Bayangkan empat km harus di tempuh selama satu setengah jam, tapi jangan tertawa karena kami jalan seperti keong ya. Mungkin kalian sendiri yang harus mencobanya...