Menatap langit senja dari puncak gunung Fatule'u |
Istirahat di pemberhentian pertama gunung Fatule'u |
Entah gerangan apa yang membuat Fatule'u menjadi tempat anak muda menantang jiwa muda mereka sampai kemudian aku membuktikannya. Gunung itu indah, iya memang gunung itu indah dan bukan cuma gunung itu sendiri yang indah demikian pemandangan yang akan kamu lihat saat di atasnya. Dan gunung Fatule'u bukan cuma indah tapi begitu angkuh menantang nyali para pendakinya dengan dinding yang nyaris vertikal. Ketinggian puncak gunung sekitar 1.100 mdl, artinya sekitar 300 meter dari titik start pendakian bukan berarti itu sebuah perjalanan naik sederhana. Tidak ada start awal menanjak landai baru pelahan-lahan menanjak terjal sebagaimana kalau kita naik gunung.
Dari awal perjalanan, kami langsung disuguhi perjalanan cukup ekstrim. Setelah kita berjalan sekitar dua ratus meter ke dalam pepohonan, maka kita akan langsung berhadapan dengan tebing batu yang harus didaki. Aku bisa melihat kegamangan di sinar mata kedua temanku yang baru pertama kali melakukan perjalanan dengan kondisi seperti ini. Mereka bukan takut untuk menaikinya namun gamang bagaimana nanti mereka turunnya. Mungkin karena efek awal jalur yang langsung memanjat tebing membuat mereka dengan segera merasakan capek yang luar biasa.Di sini, aku melihat seorang Imam yang bisa tampil menjadi penyemangat. Dia dengan sabar mengajak Adis dan Rei istirahat dulu dan tidak memaksakan diri.
Berhenti di setengah pendakian menuju puncak |
Hengki, seorang anak muda yang umurnya mungkin tidak lebih dari 17 tahun menjadi guide kami dengan cekatan memanjat terlebih dahulu dengan sendal jepitnya. Jalur yang dilalui di banyak titik tidak memiliki jalur jelas untuk dilewati. Beberapa kali kami kecele waktu melihat jalur yang landai tapi diperingatkan oleh Hengki pada di ujung jalan itu justru menunggu jurang. Jadi memang peran Hengki untuk menjadi guide kami sangat berarti, aku bahkan belum berani kesini lagi tanpa guide. Karena Rei sudah kepayahan akhirnya Hengki yang membawakan tas milik Rei sekaligus tas tripod-ku. Kami berpapasan dengan beberapa orang yang telah selesai dan hendak turun ke bawah. Dengan jalur tunggal seperti ini, mereka mengalah menunggu kami semua selesai naik ke atas baru gantian mereka. Inilah kesulitan berikutnya jika gunung Fatule'u didaki ramai-ramai, bisa-bisa antriannya ngalahin kemacetan Jakarta.
Akhirnya sampai di puncak pertama |
Dan dimulailah pendakian yang sungguh menegangkan. Hengki meminta kami merambat naik melalui patahan-patahan dinding batu. Pelan-pelan kami naik ke atas. Hengki yang terlebih dahulu naik terus membimbing Rei dan Adis, sementara Imam naik dari sisi lain sambil mengamati mereka berdua. Aku sendiri naik paling terakhir untuk mengabadikan perjalanan ini dalam rana kamera. Setelah aku mengemasi kamera, aku mulai ikut naik menyusul mereka. Namun karena aku terganggu dengan sendalku, akhirnya aku memutuskan melepas sendal dan mendaki dengan kaki kosong. Justru dengan cara ini aku dengan mudah bisa menapak di dindingnya dengan cepat. Beberapa orang yang mau turun heran melihat aku yang justru naik tanpa sendal. Hehehe, mereka belum tahu kalau kakiku ini masih kaki orang kampung paling udik yang lebih nyaman jalan nyeker daripada pakai sendal. Ini kulit kaki tebelnya aja ngalahin kulit badak (untung mukanya kagak muka badak).
Bersantai menikmati senja dari puncak kedua |
Tak seperti yang kami duga, ternyata di puncak tak ada tempat landai yang datar. Walau dari bawah, penampakan gunung bagian atas seperti rata ternyata itu merupakan tonjolan-tonjolan batuan yang formasinya sekilas seperti batu utuh. Akhirnya kami duduk seadanya di puncak di batu yang miring. Ada beberapa puncak yang untuk dicapai satu sama lain tetap harus berjuang menelusuri, seperti di bagian utara tampak bendera merah putih dan bendera lain seperti bendera pramuka terpasang. Juga di sebelah timur-nya ada bendera BRI yang juga terpasang. Sayang kami tidak membawa bendera supaya bisa ikutan nampang.
Berpose dengan latar belakang gunung Fatule'u |
Aku sengaja menceritakan kelakuan temanku bukan untuk mengolok, tapi biarkan ini menjadi kesalahan pertama dan terakhir dia. Aku berharap kejadian ini diingatnya, dan bahkan bisa ikut terlibat untuk memberikan kesadaran ke orang lain agar tidak sembarangan membuang sampah. Jika setiap orang yang naik ke atas gunung Fatule'u ini kita biarkan membuang sampah begitu saja, maka dalam 5 tahun ke depan mungkin gunung Fatule'u bukan hanya menjadi gunung batu tapi juga gunung sampah.
Hengki berlatar view gunung Fatule'u dari jalan masuk |
Perjalanan kembali lebih menegangkan daripada saat naik, karena kami kembali jam tujuh kurang seperempat. Dari puncak memang warna langit masih tampak tapi di bawah sudah mulai tampak gelap. Rei sempat mengalami kram kaki mungkin karena secara mental dia kurang siap. Aku harus membantunya pelan-pelan melewati puncak vertikal itu untuk turun ke bawah dibantu Imam. Aku meminjamkan senter kepala pada Rei supaya dia bisa melihat jelas, untungnya selain senter kepala aku juga membawa senter tangan 2 buah lagi. Hengki sendiri sepertinya tidak kesulitan berjalan diantara bebatuan menembus gelap.
Berpose sebelum melanjutkan perjalanan naik vertikal |
Jam delapan malam akhirnya kami sampai turun di bawah. Bapak penjaga helm terpaksa tidak bisa pulang karena menunggu kami kembali. Untungnya ada sebuah warung yang pemiliknya tinggal disitu jadi kami bisa memesan kopi. Sekitar jam setengah jam setengah sembilan barulah kami mulai berangkat kembali, menelusuri jalan yang terus menurun.
Catatan: Naik gunung ini bukan lagi sekedar mendaki tapi sudah kategori rock climbing (memanjat tebing) sehingga disarankan untuk benar-benar berhati-hati. Jangan menantang teman kecuali mereka memang berniat untuk menaikinya. Walaupun bukan lokasi yang sulit dipanjat tapi kesalahan kecil yang diabaikan bisa berakibat fatal, persiapkan fisik dengan benar. Jangan sampai anda berangkat utuh, pulang tinggal nama. Jika lokasi ini dikelola betul, saya yakin tidak akan dibolehkan orang naik tanpa pengaman/tali. Tapi bukan karena tidak ada pengaman/tali artinya tempat itu bisa sembarangan didaki.